Sabtu, 12 Juni 2010

Cinta dan Benci karena Allah

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar berkata : Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik amal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.

Al Alamah Abadiy mengatakan bahwa makna “Sebaik-baik amal adalah cinta karena Allah” adalah karena-Nya bukan karena tujuan lain seperti ketertarikan dan berbuat baik. Diantara keharusan dalam mencintai karena Allah adalah mencintai para wali dan orang-orang pilihan-Nya. Dan diantara syarat kecintaan mereka adalah mengikuti jejak-jejak dan menaati mereka.

Sedangkan makna “benci karena Allah” adalah karena perkara yang pantas untuk dibenci seperti kefasikan, kezhaliman, pelaku kemaksiatan. Ibnu Ruslan mengatakan didalam “Syarh as Sunan” bahwa didalamnya terdapat dalil bahwa diwajibkan bagi seseorang memiliki musuh yang dibencinya karena Allah sebagaimana diwajibkan baginya memiliki teman-teman yang dicintai karena Allah.

Lebih jelasnya bahwa jika engkau mecintai seseorang hendaklah karena orang itu menaati Allah dan menjadi kekasih Allah. Ketika orang itu bermaksiat terhadap-Nya maka anda harus membencinya karena ia telah bermaksiat terhadap Allah dan menjadi orang yang dibenci Allah. Barangsiapa yang mencintai karena satu sebab maka sudah seharusnya dia membenci hal-hal yang bertentangan dengan sebab itu. kedua sifat ini sudah menjadi kelaziman yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya dan dia mejadi tuntutan didalam mencintai dan membenci didalam kebiasaannya. (Aunul Ma’bud juz XII hal 248)

Tidak disangsikan bahwa kecintaan seseorang kepada orang lain karena Allah swt adalah buah dari kecintaan dirinya kepada Allah swt. Karena seseorang yang mencintai Allah swt diharuskan pula untuk mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan mereka dicintai oleh-Nya.

Ketika seseorang mencintai saudaranya karena Allah maka ia akan tetap mencintainya selama Allah mencintai orang itu dikarenakaan amal-amal shalehnya sebaliknya ketika Allah membencinya dikarenakan maksiat-maksiatnya maka dia pun akan membenci orang itu. Kecintaannya bukanlah karena hal-hal duniawi, seperti : harta, jabatan, kedudukan, nasab atau sejenisnya.

Berbahagialah seseorang yang mampu melakukan hal ini karena ia menjadi bukti benarnya keimanan dan keislamannya. Imam Malik mengatakan bahwa kecintaan karena Allah swt adalah diantara kewajiban keislaman seseorang.

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Anas dari Nabi saw, dia berkata, "Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; orang yang mana Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk neraka."

Para ulama mengatakan bahwa makna dari “manisnya iman” adalah merasakan kelezatan didalam ketaatan dan mengemban beban-beban didalam mendapatkan ridho Allah dan Rasul-Nya saw dan lebih mendahulukan keredhoan tersebut daripada perhiasan-perhiasan dunia.

Wallahu A’lam

Jumat, 04 Juni 2010

Ihsan dalam Shalat

Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Takbir sebagai ungkapan yang menyatakan suatu proses naik tercermin pada saat Nabi Saw sedang mendaki sebuah bukit, di sana beliau mendzikirkan kalimat takbir. Berbeda dengan ketika Nabi Saw sedang turun dari sebuah bukit, maka beliau mendzikirkan kalimat tasbih. Dalam 17 rakaat pada lima waktu shalat wajib, diucapkan 94 kali takbir pokok yang membatasi setiap bentuk sikap (state) dalam shalat, berarti dalam sehari semalam seharusnya terjadi minimal 94 kali kenaikan derajat kedekatan dengan Allah Swt.
Istilah shalat melampaui dari sekedar sebuah nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses “pengorbitan” setiap ciptaan Allah, secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt , ini diisyaratkan oleh Al-Qur’an Surat An-Nuur [24] : 41,
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya bertasbih kepada Allah siapa pun yang da di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)
Tasbih mencerminkan mengalirnya setiap ciptaan dalam suatu proses penyerahan diri (aslama) yang bersifat umum, dan shalat dalam hal ini mencerminkan suatu pengaliran dengan modus atau bentuk tertentu, yang spesifik, tidak sama dari satu ciptaan ke ciptaan yang lainnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung telah ditentukan ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan telah ditentukan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air.
Secara umum aspek praktis shalat, sebagai suatu ibadah mahdlah yang paling pokok, wajib ditegakkan dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Dalam aspek praktis shalat tampak tercermin keseluruhan dari dinamika kehidupan: pada saat berdiri posisi akal ada di atas qalb, pada saat ruku’ posisi akal sejajar qalb, dan pada saat sujud posisi akal ada di bawah qalb. Dan Nabi Saw mengingatkan bahwa semulia-mulia keadaan shalat adalah pada saat sujudnya, dan beliau memerintahkan agar kita memperbanyak berdoa pada saat bersujud, yaitu pada saat akal diletakkan di belakang qalb (akal yang tunduk kepada qalb yang dirahmati Allah Swt).
Serangkaian shalat praktis tersebut wajib ditegakkan untuk membangun suatu keadaan dzikir kepada Allah Swt (lihat Q. S. Thaaha [20]:14). Dzikir di sini bukan sebatas mengulang-ulang memuji Allah Swt dengan lisan ihwal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi suatu dzikir mencakup suatu keadaan totalitas jiwa (nafs) akibat sentuhan rahmat-Nya, sehingga insan tersebut baqa’ dalam tasbih, doa, kesyukuran dan sebagainya. Dan jika dzikir ini menjadi sebuah maqam, maka menjadi tidak berbatas waktu. Jadi serangkaian shalat praktis yang berbatas waktu wajib ditegakkan untuk membangun dan memelihara suatu keadaan ’shalat’ (dalam tanda kutip) yang tidak berbatas waktu, dzikrullah.
Tujuan sejati dari suatu suluk (tazkiyatu-nafs) adalah untuk menemukan kodrat diri, merupakan qudrah atau kuasa Allah Swt yang ada di dalam nafs, sebagai mandat atau misi hidup yang harus dimanifestasikan. Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan melihat qudrah dirinya sebagai bayangan terbatas dari qudrah-Nya, dan barangsiapa yang mengenal kuasa-Nya maka akan mengenal Rabb-Nya, sebagaimana dikatakan Rasulullah Saw, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.” Dan kodrat diri ini tak lain merupakan fitrah Allah Swt yang disematkan kepada diri insan tertentu yang telah menegakkan ad-diin dalam dirinya.
“Shalat itu adalah tiangnya ad-diin.” (Rasulullah Saw)
Ad-Diin di atas mencakup tiga komponen: al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan. Ketiga aspek tersebut harus ditegakkan secara utuh di dalam diri insan. Jika satu dari ketiga aspek tersebut belum terbangun maka ia belum termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah mendirikan ad-Diin di dalam dirinya. Jadi rangkaian shalat itu merupakan proses untuk menegakkan ketiga pilar ad-diin tersebut. Dan tentang pilar ketiga ad-diin yakni al-ihsan, Nabi Saw pernah berkata, “Engkau mengabdi kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya” adalah pilar yang paling halus dan paling sulit untuk ditegakkan, kecuali oleh mereka yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh, berharap bertemu (liqa’) Allah dengan kerinduan yang mendalam.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya (liqa’) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2] : 45-46).
Bagian akhir dari ayat di atas berkaitan dengan ke-ihsan-an sebagai tanda dari hadirnya kekhusyu’an di dalam shalat. Dan jika suatu shalat tidak mencapai pilar ihsan, maka ibadah shalat akan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, sehingga bangunan ad-diin dalam diri orang tersebut sulit untuk didirikan. Jika seseorang tidak dapat menegakkan ad-diin dalam dirinya maka shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan fakhsya’ dan munkar.
Kemudian Nabi Saw bersabda pula, “Siapa yang mengenal Allah maka pasti mencintai-Nya.” Pada maqam ini pilar ketiga dari ad-diin terbangun. Bagaimana agar keihsanan dan kecintaan kepada Allah dapat tumbuh, maka hanya dengan cara mengikuti semua langkah Nabi Saw dengan ikhlas, baik lahiriyahnya maupun batiniyahnya.

_______WallaahuA'lam_______
REferences: Al-Qur'an&Al-HAdist