Senin, 29 Maret 2010

ETIKA BERBEDA PENDAPAT

Pertanyaan..
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Syaikh yang terhormat, banyak perbedaaan pendapat yang terjadi di antara para aktivis dakwah yang menyebabkan kegagalan dan sirnanya kekuatan. Hal ini banyak terjadi akibat tidak mengetahui etika berbeda pendapat. Apa saran yang Syaikh sampaikan berkenan dengan masalah ini ?

Jawaban..

Yang saya sarankan kepada semua saudara-saudara saya para ahlul ilmi dan praktisi dakwah adalah menempuh metode yang baik, lembut dalam berdakwah dan bersikap halus dalam masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat saat saling mengungkapkan pandangan dan pendapat. Jangan sampai terbawa oleh emosi dan kekasaran dengan melontarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dilontarkan, yang mana hal ini bisa menyebabkan perpecahan, perselisihan, saling membenci dan saling menjauhi. Seharusnya seorang da’i dan pendidik menempuh metode-metode yang bermanfaat, halus dalam bertutur kata, sehingga ucapannya bisa diterima dan hati pun tidak saling menjauhi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” [Ali-Imran : 159]

Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun.

“Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha : 44]

Dalam ayat lain disebutkan.

“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An-Nahl : 125]

Dalam ayat lain disebutkan.

Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka” [Al-Ankabut : 46]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]

Beliaupun bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]

Maka seorang da’i dan pendidik hendaknya menempuh metode-metode yang bermanfaat dan menghindari kekerasan dan kekasaran, karena hal itu bisa menyebabkan ditolaknya kebenaran serta bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara sesama kaum muslimin. Perlu selalu diingat, bahwa apa yang anda maksudkan adalah menjelaskan kebenaran dan ambisi untuk diterima serta bermanfaatnya dakwah, bukan bermaksud untuk menunjukkan ilmu anda atau menunjukkan bahwa anda berdakwah atau bahwa anda loyal terhadap agama Alah, karena sesungguhnya Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dan yang disembunyikan. Jadi, yang dimaksud adalah menyampaikan dakwah dan agar manusia bisa mengambil manfaat dari perkataan anda. Dari itu, hendaklah anda memiliki faktor-faktor untuk diterimanya dakwah dan menjauhi faktor-faktor yang bisa menyebabkan ditolaknya dan tidak diterimanya dakwah.

[Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5, hal.155-156, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 198-200 Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1137&bagian=0

Rabu, 24 Maret 2010

Beralih dari pengobatan medis ke pengobatan ala Rasulullah


Zaman yang serba modern seperti saat ini pola makan manusia kurang diperhatikan. Alhasil kesehatan sering terganggu dan menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya gangguan pada ginjal, diabetes, darah tinggi, dll. Pengobatan medis sudah sering dilakukan, tetapi masih ada orang yang merasa putus asa akan kesembuhan yang tidak kunjung tiba. Sehingga beberapa orang yang beralih dari pengobatan medis ke pengobatan ala Rasulullah (Thibbun Nabawi). Pengobatan ala Rasulullah diantaranya dengan madu dan bekam sesuai dengan sabda Nabi “Kesembuhan itu berada pada tiga hal, yaitu minum madu, sayatan pisau bekam dan sundutan dengan api (kay). Sesungguhnya aku melarang ummatku (berobat) dengan kay.” (HR Bukhari). Dalam pembahasan kali ini mengenai pengobatan dengan cara bekam.
Bekam merupakan istilah yang dikenal dalam bahasa melayu, bahasa arab mengenalnya sebagai Hijamah, dalam bahasa inggris dikenal sebagai cupping, orang cina mengenalnya sebagai gua-sha, sedangkan orang Indonesia mengenalnya sebagai cantuk atau kop. Bekam merupakan salah satu bentuk pengobatan dalam Islam yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw. Bekam mulai dikenal dan dilakukan sejak jaman Mesir kuno, bangsa Mesir kuno pada saat itu dikenal sebagai bangsa yang banyak mengadakan perjalanan jauh. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman di tubuh tersebut, mereka berupaya untuk mengeluarkan cairan-cairan darah kotor yang mereka anggap mempengaruhi keseimbangan metabolisme di tubuh. Pada perkembangannya, Bekam kemudian menyebar dan berkembang ke berbagai negara di dunia sebagai salah satu bentuk pengobatan yang ampuh.
Beberapa definisi bekam (Al-Hijamah): 1)kulit berfungsi mengeluarkan toksin(ginjal ketiga). 2)Terapi pengeluaran racun/toksin dalam tubuh melalui permukaan kulit. 3)Kulit merupakan organ tubuh terbesar dalam tubuh sehingga dalam kulit inilah banyak toksin berkumpul. 4)Fungsi terganggu (asam urat), bisul, jerawat, psoriasis, dsb. 5)Al-Hijamah merupakan detoksifikasi yang tidak menimbulkan efek samping. 6)Darah mengalami oksidasi tanpa udara. 7)Plasma terpisah sendiri dari darah. 8)Hanya plasma dan sel darah rusak yang keluar dari tempat hijamah. 9)Jika kita meletakkan dua gelas untuk menghisap darah, maka mungkin saja darah akan keluar ke dalam gelas pertama, tapi tidak ke gelas kedua, padahal keduanya saling berdekatan. 10)Kesembuhan dapat terjadi meskipun darah tidak keluar ke gelas. Ada beberapa yang harus diperhatikan sebelum melakukan bekam, diantaranya orang yang melakukan bekam harus ahli bekam, alat bekam harus steril, riwayat penyakit pasien, dan larangan bekam itu sendiri.
Praktik-praktik dan hasil pengobatan bekam membuktikan bahwa bekam memang merupakan metode pengobatan yang baik. dan bekam bukan hanya mengobati penyakit-penyakit yang ringan, akan tetapi sunnah Nabi saw ini juga bermanfaat mengatasi penyakit-penyakit yang oleh para pakar pengobatan modern sulit disembuhkan, seperti : kanker, rhematik, tumor, hipertensi, diabetes, stroke, kolesterol dan penyakit-penyakit lain. Banyak manfaat dari bekam, sehingga pengobatan dianjurkan dengan berbekam, sesuai sabda Rasul “Allah mewajibkan puasa Ramadhan untuk membersihkan ruhani dan Rasulullah mensunnahkan bekam (Al-Hijamah) untuk membersihkan jasadi”

*dr b'bagai sumber>>Tugas Kuliah ^^

Positif Thinking di Era Globalisasi Menurut Islam


Secara naluriah, setiap manusia pasti merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih menuju positive thinking. Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era globalisasi saat ini.
Banyak langkah yang ditempuh untuk membangun jiwa menuju pola pikir yang positive thinking dan pikiran yang bersih berdasarkan hati nurani yang fitrah. Dimulai dengan mengubah paradigma dan meluluskan tekad dan niat yang tulus untuk meraih perubahan. Tidak berpikiran statis (jumud), tak angkuh, aniaya, egoisme, menjadi sosok yang berbeda, teguh dalam prinsif, istiqomah serta ridho dalam menerima takdir Allah swt.

Upaya membangun jiwa positive thinking dalam kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya.Awa man kaana mayyitan, faahyaynaahu wa ja’alnaa lahunuuron, yamsyii bihii fin naasi kamam matsaluhu fidhdhulumaatilaysa bikhooriji minhaa. Dan apakah orang-orang yang sudah mati hatinya kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia bisa berjalan,bergaul di tengah manusia seperti orang yang sedang berjalan dalam gelap gulita sekali-kali dia tidak dapat keluar darinya.
Ada beberapa kiat bagaimana membangun jiwa yang memiliki positive thinking secara Islam yang dirilis oleh Adil Fathi, Abdullah yang disadur dari buku yang judul aslinya asyi-syiruunahu nashiyhatan naajihatan lillatiy hiyaminalqolbi yang diterjemahkan oleh Faishal Hakim Halimy, yakni sebagai berikut,
pertama, luruskan pikiran. Berdasarkan QS Arro’dhu: 11,ayat tersebut menjelaskan tentang hukum perubahan dalam kehidupan manusia.Oleh karenanya keadaan tidak akan berubah dari satu kondisi selama belum mengenal hukum perubahan ini dengan baik. Maka tinggal upaya manusia untuk mengatasi rasa cemas atau agar terbebas dari keresahan.Tidak akan berguna hidup manusia adalah refleksi dari gaya berpikir seseorang dengan kapasitasnya pula.Manusia bisa sakit atau juga bisa menikmati sehat.
Kedudukan seseorang bukan penentu kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang. Tetapi bagaimana menyikapinya mengubah cobaan berat menjadi sebuah karunia seperti diungkap oleh Mujtahid dan ulama besar Ibnu Taimiyah berkata, Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku? Tamanku dan surgaku berada dalam dadaku. Membunuhku sama halnya dengan mati syahid. Mengasingkanku sama dengan bertamasya, memenjarakanku sama dengan berkhalwat.

Kedua, tinggalkan sifat perfeksionisme, yaitu sifat orang-orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan semestinya atau berjalan dengan sekehendaknya. Sifat ini banyak menjadikan orang stress dan gangguan jiwa berupa cemas atau gangguan-gangguan lainnya. Ciri-ciri sifat perfeksionisme adalah a). Mereka tidak mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya. b). Mereka ingin segala maksud dan tujuannya tercapai dengan mulus tanpa rintangan sesuai dengan yang diinginkan. c). Memiliki sifat hipokrit (munafik). Ada hadits Nabi Muhammad SAW yang mengandung makna demikian: “Orang yang mati syahid, orang yang berilmu, orang yang mengaku dermawan, ketiga-tiganya terlempar ke neraka lantaran lahiriahnya berjiwa malaikat,tapi karakternya berhati iblis”.
Ketiga, hilangkan rasa cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasa cemburu salah satu sebab timbulnya rasa cemas. Rasa cemburu timbul lantaran kurangnya memiliki sifat kepercayaan diri. Rasa cemburu tidak hanya menimpa pada sektor kehidupan rumah tangga saja, akan tetapi bisa dalam sector lainnya. Bisa cemburu lantaran orang tersebut kurang dihormati di masyarakat, padahal orang tersebut pintar, alim dan lainnya. Bisa cemburu lantaran kurang sukses dalam bidang ekonomi, politik, sosial, jabatan, gelar akademik dan sebagainya. Ingatlah, bahwa berpikir cemburu adalah cara berpikir yang keliru dan salah. Kita memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki. Ingatlah, kebahagiaan anda bukan dari orang lain, tetapi muncul dari diri anda sendiri.
Keempat, jadilah sosok berbeda dan jadilah diri sendiri. Islam sebagai agama kita telah menentang sifat ikut-ikutan.Islam sangat mengagumkan dalam independensi dalam kepribadian individu. Dalam Islam istilah ikut-ikutan dinamakan imma’iyyah, yang diambil dari kata imma’a yang tersusun dari 2 kata yang berarti jika dan ma’a, bersama-sama. Jadi artinya, jika orang berbuat ini, maka saya bersama mereka.Rasulullah SAW bersabda, “Laatakuunuu imma’atan. Qooluu: Wamaa imma’atan ya rasuulallaah?Qooluu: Inaa ma’an naasi inahsanan naasu ahsanan, wa indholamuu, dholamnaa. Artinya:“Janganlah kalian ikut-ikutan.Para sahabat bertanya: Apa arti Imma’atan ya Rasulullah?Rasulullah SAW menjawab, “Saya bersama orang-orang yang jika orang-orang berbuat baik, maka saya pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, maka saya pun berbuat zalim, melainkan aturlah dirimu sendiri,” hadits Turmudzi.
Sistem tarbiyah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya tak berdasarkan metode ikut-ikutan, dengan tujuan agar menghasilkan karakter yang berbeda beda, tapi memiliki keunggulan masing-masing. Sesuai dengan porsinya. Mari kita renungkan hadits Rasulullah SAW yang maknanya, “Orang yang paling penyayang kepada ummatku adalah Abu Bakar. Orang yang paling tegas dalam urusan agama atau hukum Allah adalah Umar bin Khotob, orang yang memiliki rasa malu adalah Utsman bin Affan, orang yang pandai membaca Quran adalah Ubay bin Ka’ab, orang yang pandai ilmu faroo-idl adalah Zaid bin Tsabit, orang yang paling pandai atau ‘alim adalah Mu’adz bin Jabal. Bukankah setiap umat ini ada yang berjiwa pemimpin? Dan orang yang memiliki jiwa ini adalah Abu Ubaidah bin Zarrah,” HR AtTirmidzi, An Nasa’I, At-Thabarani dan Al-Bayhaqqi.
Kelima, hilangkan penyakit hati.Penyakit ini tentu bukan virus atau sejenis mikroba. Akan tetapi penyakit ini akibat adanya kerusakan pikiran yang bersumber dari hati manusia. Dan akibat tipisnya iman kita kepada Allah SWT. Bahaya sifat ini ditegaskan Nabi Muhammad SAW, Lyyakum wal hasada. Fainnal hasada yak-kulul hasanaati kamaa takkulun naarul hathob.Aw qoolal ‘usyba, rowaahu abuu daawudu. Waspadalah kalian dari sifat iri, karena sifat iri itu akan memakan kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar atau rerumputan kering, Hadist Riwayat Abu Dawud.
Khotimah, tantangan hidup manusia di era globalisasi saat ini berkaitan dengan bagaimana cara membangun nilai-nilai positive thinking. Maka yang perlu kita sikapi sebagai da’i adalah bagaimana seharusnya profil seorang da’i yang selalu memberi pencerahan dan tausiyah kepada umat dalam membangun masyarakat madani yang berperadaban seperti diungkap oleh Nurcholis Madjid mengutip masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah.
Ada 5 pilar dalam membangun masyarakat madani, Satu, masyarakat rabbaniyah, masyarakar religius, yang dilandasi semangat berketuhanan atau tauhidiyah. Dua, masyarakat demokratis, hidup dalam suasana musyawarah dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan atau muamalat. Ketiga, masyarakat toleran. Masyarakat Madaniyah adalah masyarakat majemuk, plural, baik dari suku maupun agama. Keempat, masyarakat yang berkeadilan. Kelima, masyarakat yang berilmu.

[Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan]
Sumber : http://www.madina-sk.com/ edisi 28 Juli - 3 Agustus 2008

Senin, 22 Maret 2010

GAIRAH CINTA dan KELESUAN UKHUWWAH

oleh : Alm. KH Rahmat Abdullah “Sang Murabbi”
Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : “Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai.” (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar’i yang menggariskan aqidah “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq”. Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma’siat kepada Alkhaliq. (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : “Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : “Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi” (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta’lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka “kerugian apapun” yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da’wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama’i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. “Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu” (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da’wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da’wah atau oleh urusan yang merugikan da’wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da’-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. “Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta”, tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. “Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?” Sekarang yang membingungkan justru “Zauji au da’wati” : Isteriku atau da’wahku ?”.
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : “Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah”. Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit “syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga” (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : “Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah”. Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. “Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?”. Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da’wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, “in lam takun bihim falan takuna bighoirihim”.
Di Titik Lemah Ujian Datang
Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : “Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka”. Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.
Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. “Ternyata kayanya kaya begitu saja”, ujar Syaikh tersebut.
Ternyata kita temukan kuncinya, “Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka”. Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah
Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?
Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan “Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang”. Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.
Seni Membuat Alasan
Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. “Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka”, demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? “Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu”, demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai’Llah.
Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, “Afwan ya Akhi”.
Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar
Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. “Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur” (Qs. 49;17).
ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menung-gu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : “Nah, rasain !” Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.
Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : “Untukmu pun hak seperti itu”, seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi’Llah.
*Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.[]

Abu Bakar bin Abi Qohafah

Silsilahnya dari keluarga Tamimi dan kabilah yang sama dengan Rasulullah, yaitu suku Quraisy.
Keutamaannya adalah: Beliau seorang pedagang yang selalu memelihara kehormatan dirinya dan memiliki akhlak yang mulia. Sebelum dtgnya Islam, ia pun sudah akrab dengan Rasulullah. Rahasia kebesarannya, sebagaiman Sabda Rasul: “Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh ummat akan lebih berat keimanan Abu Bakar” (HR. Al-Baihaqi dlm Asysyiib). Allah juga mengabadikan sebuah kisah untuk dijadikan Hikmah: “ …dia salah seorang dari 2 orang ketika ke 2nya b’ada dlm gua, diwaktu dia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita…(QS.AtTaubah:40).
Keimanan Abu Bakar tanpa ragu sebagaimana sabda Rasul: “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam tanpa ada hambatan, keraguan tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar-lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut,dia lansung menerimanya tanpa ragu sedikit pun.” (Dari kitab Albidayah Wannihayah). Kekuatan akidah dan keteguhan iman dapat dilihat pada saat orang menghadapi perjuangan (kekerasan). Kekuatan akidah & keteguhan iman Abu Bakar dapat dibuktikan dalam segala sikond. Bukti yang nyata adalah saat dia hijrah ke Madinah. Saat berjalan menuju gua bersama Rasulullah , Abu Bakar sesekali berjalan di depan Rasulullah karena ada musuh yang mengintai dari depan dan kalau ada musuh dari belakang, ia berjalan di belakang Rasulullah. Sampai2 Rasulullah bertanya: “Abu Bakar, kalau terjadi sesuatu apakah engkau lebih suka dirimu yg terkena dan bukan aku?”. Lalu Abu Bakar menjawab,: Benar Rasulullah. Demi yang mengutusmu dengan Haq.”
Begitu juga saat perang Badar, Rasulullah masih khusuk berdoa Abu Bakar menhampiri beliau dan mengatakan,”Ya Rasulullah, tenangkan dirimu dan mantapkan hatimu. Sesungguhnya Allah pasti akan menepati janji-Nya dan sesekali tidak mengecewakanmu.” Mendengarkan perkataan Abu Bakar, hati Rasulullah menjadi mantap dan tenang. Pantaslah bila ia digelari Rasulullah AsShiddiq, orang yang selalu benar dan membenarkan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat bermusyawarah memilih pengganti kepemimpinan Rasulullah. Keputusannya ditetapkan Abu Bakar Assiddiq sebagai khalifah. Ia tetap menyiapkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid. Dalam pertempuran tsb Islam menang. Banyak penghapal Al-Qur’an yang mati Syahid saat perang, dan Umar mengusulkan Al-Quran harus dikumpulkan agar keutuhannya tetap terjaga. Lalu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit untuk kepentingan usulan Umar. Dengan begitu Al-Quran telah ditulis Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang masih berada di tangan Abu Bakar sampai ia wafat, lalu dipindahkan ke khalifah selanjutnya, Umar bin Khattab.
Abu Bakar Ra wafat pada hari Senin malam selasa, antara magrib dan isya, tanggal 22 jumadil Akhir tahun 13 H dalam usia yang sama dengan Rasulullah. Dia memangku jabatan khalifah selama 2 tahun 3 bulan lebih 10 hari. Ia meninggalkan lima orang anak, 3 laki-laki dan 2 perempuan, yaitu Abdullah, Abdurrahman, Muhammad, Aisyah dan Asmaa (istri Azzubair ibnul Awwam).

Minggu, 21 Maret 2010

SELF JUSTIFICATION; Kenali dan Hati-hati!

Self justification merupakan satu penyakit yg melanda hati ketika dihadapakn pd tuntutan hokum syara yg dianggap berat, sedangkan Qt blum memaksimalkan upaya u/ mmenuhinya. Perasaan bahwa diri masih jauh lebih baik dr org lain terkadang muncul sbgai penghibur hati yg sebenarnya diliputi rasa bersalah. Bahayanya, bila perasaan seperti ini terus dibiarkan, Qt akan mnjadi org yg keras hati dan terus-menerus dlm kemaksiatan serta lalai untuk memperbaikinya.
Ada 3 indikator u/ mendeteksi kehadiran self justification ini, perhatikan baik2:

1. “Paling tidak, aku lebih baik dr org lain”
Ini hanyalah bisikan setan agar Qt lalai dlm memenuhi hukum syara. Ketika belum mampu melaksanakan shalat tepat waktu, Qt akn mengatakan pd dr sendiri, “masih mending aku masih mau shalat, daripada mereka yg tdk pernah shalat.” Contoh lainnya bagi akhwat, ketika belum bisa memakai kerudung dengan kaffah, Qt menghibur hati dengan,”Ah,masih mending aku mau menutup aurat. Daripada tidak sama sekali.” Astaghfirullah.. Hati2! Self Justification seperti ini bisa menggiring kpada kemaksiatan yg lebih besar lagi.
Jika Qt mw merenung, “siapakah sebenarnya shg Qt berhak menentukan aturan baik dan buruk?” Semua peraturan sudah sepatutnya hanya b’sumber dr Allah SWT semata. Yang baik dari-Nya sudah tentu baik bg Qt. Berbeda dg standar baik menurut manusia. Bisa jd standar baik menurut manusia, belum tentu sama dg standar baik di mata Allah. Ini krna manusia makhluk yg relative. Dg hawa nafsunya, manusia sering mengkompromi kebenaran. Padahal Islam menuntut setiap muslim u/ menegakkan aturan Allah secara kaffah, tdk ada kompromi.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bg laki2 beriman&perempuan mukmin, apabila Allah telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bg mereka pilihan yg lain ttg urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yg nyata.”(Qs.33:36)

2. “Aku akan berubah di masa mendatang”
Pemikiran semacam ini jelas salah, karena tdk ada seorang pun yg bs menjamin esok hari masih bernyawa. Qt tak bs menjanjikan bahwa suatu saat dimasa yg mendatang akan lebih baik. Satu2nya yg pasti terjadi adalah kematian. (Dan) setiap ummat ada ajalnya. Apabila ajal sudah datang, tdk dapat mereka (berusaha) mengundurkan ataupun memajukan walau sesaat.”(Qs.7:34)
Janagnlah menunda-nunda melakukan kebaikan. Jangan sampai Qt belum sempat melakukan kebaikan ketika malaikat mencabut nyawa ini. Lakukanlah perubahan saat ini juga selagi Allah masih memberikan kesempatan hidup. Sebagaimana Firman-Nya, “Dan bersegeralah kpda ampunan dr Tuhanmu dan kpda surga yg luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan u/ org2 bertakwa.”(Qs.3:133)

3. “Aku belum mampu melakukannya, terlalu sulit”
Lagi2 Qt membuat alas an u/ menunda amal Shaleh. Alasan bahwa Islam itu sulit&tdk mudah dicerna adalah sesuatu yg berlebihan. Sungguh, Islam diturunkan sbgai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dg batas kemampuan & tdk pernah mempersulit manusia. Allah swt berfirman, “Allah tdk akan membebankan atas diri seseorang kecuali sekadar kemampuannya. (QS.2:286).
“Selama hatiku masih tetap bersih, Allah pasti mengampuniku.” Memang benar, Allah swt adalah Maha Pengampun. Tapi bukan berarti Qt melegitimasi u/ melalaikan hukum syara.
“Apakah kamu tidak memperhatikan org yg menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yg dikehendaki-Nya & mereka tdk dianiaya sedikitpun.(QS.4:49)

-----------------Wallahu a’lam Bisshowab----------------

^^Saudaraku..Mari bersama2 jujur pd dr sendiri & Bertakwa pd Allah swt. Akui dan perbaiki segala kekurangan Qt. Jgn mudah u/membuat alasan2 atas kesalahan Qt. Jgn menyepelekan kesalahan dan kekurangan Qt. Bukankah salah satu ciri orang mukmin adlah mawas diri, menerima nasihat, dan bertaubat jk b’buat kesalahan?? Sekecil apapun Kesalahan itu!! Wallahu a’lam…

__Oleh: Aulia Hasanah, MaPI, Juni 2007

Gumaisha binti Milhan RA; Maharnya masuk Islam

Rasulullah S.A.W bersabda: “Ketika aku masuk ke dalam syurga aku mendengar suara langkah seseorang. Lalu aku berkata : “Siapakah gerangan orang ini? “ mereka menjawab : “ini adalah suara langkah Gumaisha binti Milhan RA, Ummu Anas Ibnu Malik “. Rasulullah bersabda lagi: “ aku sangat menyayanginya, saudara lelakinya telah terbunuh mati syahid bersamaku”.

Sahabat wanita yg akan kita baca sejarah hidupnya ini adalah salah seorang dari sahabat wanita pd zaman Rasulullah yg telah memiliki kebenaran & memiliki catatan amal soleh yg banyak. Para ahli riwayat hadist telah bermuafakat kalau sahabat ini memiliki kuniyah ; Ummu Sulaim. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam nama,da yg mengatakan samaada Gumaisya, atau Rumaisya. Adapun yg lain mengatakan Unaifah, dan yg lainnya mengatakan Rumaithah.
Ummu Sulaim adalah ibunda dari seorang sahabat yg bernama Anas Ibnu Malik, pembantu Rasulullah S.A.W. Ummu Sulaim telah memeluk agama Islam tatkala Rasulullah S.A.W masih menetap di Makkah. Ia juga ikut dibaiat Rasulullah S.A.W ketika baru tiba di Madinah. Masuknya Ummu Sulaim dalam agama Islam adalah sebuah pukulan dan paksaan terhadap suaminya Malik Ibn Nadhr yg tidak menghadiri pembaiatan terhadap Rasulullah.

Ketika Anas Ibn Malik mulai dewasa, datanglah Abu Thalhah al-Anshar untuk melamar Ummu Sulaim. Ketika itu Abu Thalhah masih dalam keadaan musyrik. Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. Ketika Abu Thalhah datang untuk kedua kalinya, Ummu Sulaim memperhatikan wajah Abu Thalhah, Ummu Sulaim ingin melihat kalau wajahnya memancarkan kebaikan. Ummu Sulaim berkata : “sesungguhnya tidak layak bagiku untuk menikah dengan seorang Musyrik. Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau ketahui kalau tuhan-tuhan kamu itu adalah hasil ukiran dan tempahan seseorang, dan apabila kamu semua menyalakan api disekitarnya, nescaya tuhan-tuhan tersebut akan hangus terbakar. Apakah tuhan-tuhan tersebut akan memberimu faedah?”.
Ummu Sulaim selalu mengulangi jawapan seperti ini setiap kali ditanya oleh Abu Thalhah. Ketika Abu Thalhah pulang, jawapan2 Ummu Sulaim telah mempengaruhi jiwanya. Akhirnya, dia mendapat petunjuk untuk masuk Islam. Dia kembali datang kepada Ummu Sulaim, dan berkata kepadanya : “semua yg telah engkau ucapkan meninggalkan kesan yang mendalam dalam jiwaku”. Abu Thalhah mengisytiharkan keislamannya dihadapan Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata : “saya terima lamaranmu dan saya tidak meminta mahar kecuali engkau masuk Islam”.

*Begitulah sekilas kisah sahabat wanita ini yg seluruh hidupnya hanya disandarkan kepada ALLAH. Wanita mengungguli sifat sabar dalam diri, konsep bertawakal setiap saat, keimanan yg teguh dan kekuatan hati yg mantap. Semoga dengan kisah ini dapat memberikan sedikit ajakan muhasabah diri untuk kita sama-sama memperbaiki diri dalam menggapai Ridho Allah SWT… InsyaALLAH.
Sumber: Bidadari-Bidadari Surga, Blog Permata Hati (70 wanita terbilang di zaman Rasulullah SAW ; Abu Azka Al-Madani)